Selasa, 08 Juni 2010

Persahabatan


Kita memang memerlukan sahabat, karena sebagai akhluk sosial,pastinya kita tidak bisa hidup seorang diri. namun hadirnya seorang sahabat terkadang tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, kita selalu percaya, bahwa sahabat adalah orang yang selalu ada saat kita sedih atau berduka, sahabat bisa menjadi dewa penolong saat kita benar-benar membutuhkannya, bahkan ada yang beranggapan sahabat sejati adalah orang yang pertama kali menangis saat kita mati. kepercayaan inilah yang terkadang membuat kita kecewa dengan kehadiran seorang sahabat.
akuilah bahwa sahabat tidak selamanya ada, bila waktunya kita tetap akan bergelut dalam kesendirian, bahkan teman lamaku pernah berkata,"jika kau takut hidup sendiri, maka jangan pernah mencintai" Seperti itulah, karena bagaimanapun juga,orang yang dekat dengan kita termasuk sahabat, suatu saat akan pergi. biasakan melangkah seorang diri sekaligus menguji mental hidupmu. apakah kita benar-benar sanggup untuk mengarungi kerasnya kehidupan dengan mengepakan sayap kita sendiri.

Senin, 07 Juni 2010

Mengapa Angka 7

mengapa angka 7?? mungkin pertanyaan ini sering terlintas di benak kita, dan yang kita saksikan saat ini angka tujuh memang menjadi angka faforit. aku sendiri menyukai angka tujuh, walau aku sendiri tidak tahu alasannya, tapi begitulah, angka tujuh memiliki daya tarik sendiri, para penulis buku juga sering kali tergoda dengan pesona angka tujuh ini. misalnya judul buku tujuh langkah melejitkan potensi diri. aku tidak tahu apakah kalian juga tertarik dengan angka tujuh?
“Angka 7 telah mempesona manusia sejak zaman dahulu kala,” tulis Schimmel.
Pada bagian lain, Schimmel menulis bahwa angka ganjil mempunyai kedu¬dukan penting dalam kepercayaan masyarakat dan, bahkan, dalam spekulasi spekulasi teologis.
Bagi Plato, semua angka genap justru adalah pertanda buruk. Sedang Virgil berkata,”Dewa senang dengan angka ganjil” dan ide ini diakui dalam tradisi Islam. Schimmel merujuk pa¬da hadis riwayat Bukhari dan Muslim yang artinya, “Allah itu ganjil (tunggal) dan menyukai (bilangan) yang ganjil”.
Angka tujuh memang unik. Allah menciptakan alam semesta ini dalam 7 masa/hari. Menciptakan neraka juga sebanyak tujuh buah, tapi entah kenapa surga tidak berjumlah tujuh, hanya Allah yang tau. Allah juga menciptakan langit 7 lapis dan jumlah hari juga 7 hari.
Dalam adat orang Aceh, kalau seseorang meninggal dunia, sebanyak tujuh hari didoakan dan pada hari ketujuh pula di adakan kenduri “seunejoh”. Anda juga sering kan pergi ke “seunujoh”.
Bahkan keajaiban dunia pun identik dengan angka 7. Anda tentu mendengar istilah 7 keajaiban dunia. Pelajaran sekolah SD dampai SMU sering menyebut Boro¬budur sebagai salah satu dari 7 keajaiban dunia, entah berdasar versi siapa.

Vesva Merah

Pukul lima pagi komplek itu sudah dikejutkan oleh suara Vesva menderung-derung seperti suara nenek-nenek yang menjerit karena marah. Semua burung pipit gelisah dalam sarang-sarang mereka, seluruh penghuni komplek itupun terpaksa bangun mendadak, semua orang sudah tahu siapa pelakunya, namun tak ada yang mau keluar untuk memarahi agar jangan berisik, karena itu percuma saja, seribu satu alasan pasti terucap dari pemilik Vesva merah itu kalau sudah ada yang menegur aktivitasnya.
“Aduh Egi!!!! Bisa kecilkah enggak suara Vesva bututmu itu! Teriak Mama keluar dari rumah termewah di komplek itu.
“Tanggung nih Ma, belum panas” Egi balas teriak.
“Sampai kapan sih kamu mempertahankan Vesva butut ini? Kata Mama lagi dengan suara jengkel.
“Sudah berapa kali Egi katakan Ma, seumur hidup” Jawab Egi nyengir.
Mamanya kembali masuk ke dalam rumah, percuma nasehatin anaknya yang menurutnya rada-rada aneh, kurang normal, atau terlalu normal. Egi memang salah satu anak yang cukup aneh, dia anak orang kaya, Mama dan Papa beberapa kali menawari untuk membelikan motor baru, terserah merek apa, model bagaimana, tapi Egi selalu menolak, dan memilih Vesva tua miliknya yang sudah dimodif sana-sini, tapi tetap saja terlihat udzur dan selalu payah kalau mau di hidupkan.
“Gi, sudah berapa kali Mama katakan, kalau pagi-pagi itu jangan dulu hidupkan motor, kasiankan para tetangga keganggu, suara Vesva merah kamukan bisa membuat gempa” Kata Mama waktu mereka berkumpul untuk sarapan pagi, Bi’Ijah hilir mudik nyiapkan sarapan dari dapur.
“Ia tuh, Mas Egi, rongsokan masih dipaksain hidup, kasiankan makin menderita, sudah waktunya pengsiun dan masuk mesium” Kata Lili, rambut kucir duanya sering Egi Jewer kalau dia jengkel terhadap adiknya yang manja itu.
Baru saja Egi hendak berargumen, namun Papa keburu muncul “Wah,, asik disksi nih” Kata Papa muncul dari arah kamar dengan pakaian super rapihnya, siap menuju kantor.
“Biasa Pah, Vesva Mas Egi buat masalah” Kata Lili, Papa hanya tersenyum.
“Vesva itukan kesayangan Egi, lagian jam lima subuh itu waktunya bangun semua, tanpa terkecuali, jadi suara Vesva itu anggap saja sebagai lonceng peringatan” Jawab Egi mulai menyuapkan nasi gorong buatan Bi’Ijah.
“Kamu itu, kalau dinasehati selalu saja jawab” Kata Mama.
“Ia tuh Mas Egi” Kata Lili ikut-ikutan.
“Ye.., kamu juga Li, selalu saja ikut-ikutan, dilap dulu tuh ingus kamu” Jawab Egi memandang adiknya yang melotot karena marah, Egi malah nyengir.
“Sudah kelas dua SMP, mana ada ingus” Jawab Lili.
“Itu apa, di bawah hidung kamu” Kata Egi sambil menunjuk dengan sendok yang dipegangnya, kemudian ia terkekeh saat adiknya mengusap bawah hidung dengan tangan kirinya.
“Mas Egi Rese’ Kata Lili manyun.
“eh..eh..eh, sudah-sudah, malah berantem” Kata Mama menengahi, Papa hanya tersenyum melihat ulah kedua anaknya.
“Kamu belum tertarik dengan tawaran Papa mengenai Motor baru” Kata Papa.
“Enggak Pa, Egi tetap pecaya pada Vesva merah kesayangan Egi, dia masih kuat jalan kok.
“Ya, baguslah kalau begitu, jadi Papa tidak usah repot-repot ngeluarkan uang”
“Papa memang pelit sih” Kata Mama.
Tidak berapa kemudian, semuanya bubar meninggalkan meja makan, Papa pergi kekantor dengan sedan mewahnya, sekalian nganterin Lili ke sekolah, Mama kembali masuk ke kamar, siap-siap dandan, karena jam delapan ia harus mengawasi salon kecantikan kepunyaannya, Bi’Ijah kembali sibuk merapikan meja makan, dan Egi kini sudah berada di atas Vesva merahnya, bersiap berangkat kesekolah, rambutnya dibiarkan kusut, bahkan mungkin tak disisir, cukup disisir dengan jari aja, orang keren walau bagaimanapun tetap keren, pikirnya tersenyum pada diri sendiri melalui kaca sepion Vesvanya. “Baiklah Sobat, kita berangkat” Teriak Egi, orang-orang yang memandangnya hanya geleng-geleng kepala.
Sesampainya di sekolah, teman-teman Egi sudah menunggu di depan gerbang. “Pangeran Vesva datang” Kata Maxsel sambil terkekeh, Egi malah sengaja meliuk-liuk kan Vesva merahnya, nyengir sebelum akhirnya turun, rambutnya acak-acakan, itulah resiko naik motor tanpa helm, selain cemas takut di uber polisi.
“Vesva mu masih kuat jalan Gi” Kata Kiko, Cici si tomboi hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala menatap Egi.
“Jelas kuat, kenapa emangnya, kok kalian pasang wajah sedih kaya begitu” Kata Egi sambil memarkirkan motornya.
“Kita bukan sedih, tapi heran sekaligus prihatin sama kamu, anak orang kaya, minta belikan mobil juga mungkin bisa, tapi malah memilih Vesva udzur begini” Kata Maxsel, remaja keturuan, Egi menyebutkan si bocah tidak jelas. Kakek dari ibunya orang Jerman, sedangkan neneknya sunda Asli, bapaknya Pontianak asli, tapi anaknya gak tau asli atau bukan, yang pasti hanya rambutnya aja yang pirang, badanya hitam legam.
“Bener banget Lo Max” Kata Kiko, remaja dekil tapi cerdas, sifat pemalasnya mengalahkan siapapun, bahkan untuk mandi aja kadang kala ia malas.
Ketiga orang ini memang akrab dari SMP, sampai sekarang sudah kelas dua SMA, namun bertambah satu, Cici, si tomboi seksi, dia anak baru, pindahan dari Bandung. Tidak tau kenapa, Cici lebih suka gabung dengan ketiga makhkluk itu, jadilah mereka berempat.
“Aku justru salut sama kamu Gi, orang kaya yang berjiwa Miskin, hehehe..” Kata Cici.
“Itu namanya Prinsip Bro, gak ada gunanya mewah-mewah di sekolah, Cuma nunjukin kekayaan orang tua, kitakan terlahir miskin, gak punya apa-apa, jadi sebelum bisa menghasilkan sendiri, kita tetap miskin, bahkan aku belum yakin seandainya tiba-tiba aku harus merantau dan pisah dari orang tua, apakah bisa makan atau tidak, itu tandanya kita tidak punya apa-apa” Kata Egi so’ bijak.
“Jadi nyinggung nih” Kata Maxsel sambil menepuk-nepuk jok MXnya.
“Hehehe.. itu hanya prinsipku saja, mungkin salah, kalian jangan ikut-ikutan” Kata Egi.
“Ku rasa benar apa yang kamu katakan” Kata Cici antusias.
“Pangeran Vesva, dua jempol untuk mu Gi” Kata Kiko nyngir.
Suara serak bel sekolah akhirnya menjerit, semua anak-anak berlari menuju kelas masing-masing, Egi dan ketiga temannya tetap santai, setelah sepuluh menit berlalu, baru mereka berjalan menuju kelas, kebiasaan yang tidak patut ditiru, tapi begitulah remaja.
Setelah lama ditunggu, akhirnya waktu itu tiba juga, entah yang keberapa kalinya bel sekolah itu dipaksa berbunyi, dan sepertinya ini yang terakhir, seluruh wajah kusut itu tiba-tiba berubah hingar bingar kembali begitu jam pulang tiba, semua anak berlomba untuk meninggalkan sekolah kecuali Egi, bajunya sudah basah oleh keringat, hampir satu jam ia coba menghidupkan vesva merahnya, namun belum juga hidup.
“sudahlah Gi, tinggalkan saja, besok ngurusnya, nebeng sama aku saja” Kata Maxsel berbaik hati, gak tega juga lihat temannya mandi keringat.
“Nebeng sama aku juga bisa” Kata Cici dengan Vario terbarunya.
“Betul Bro, ditinggal disekolah juga tu vesva gak bakalan ada yang tertarik nyuri, apalagi tidak bisa jalan begitu, hehehe..” Kata Kiko.
Namun kebaikan teman-temannya tadi ditolak secara halus oleh Egi, dan kini setelah ketiga temannya akhirnya memutuskan untuk pulang duluan, terlintas rasa menyesal dibenak Egi, kalau nebeng dengan Maxsel, atau Cici, mungkin ia kini sudah sampai rumah, pikirnya. Namun dengan cepat pikiran itu di tepisnya, bagaimanapun juga, Vesva merah adalah pilihannya, dan itupula satu-satunya barang kesayangannya.
“Ayolah sobat, aku percaya kamu bisa” Kata Egi bicara sendiri, seorang Vesva itu bisa mendengar ucapannya, Egi terus mencoba menghidupkan Vesva itu, namun lagi-lagi Vesva tak juga menderung.
Entah yang keberapa puluh kalinya, akhirnya Vesva itu hidup juga, bukan main girangnya hati Egi. “Nah gitu dong, Sory aku telah meragukan kemampuanmu, ayo jalan sobat” Kata Egi menepuk bagian depan Vesva merahnya.
Akhirnya Egi bisa juga meninggalkan gerbang sekolah, tidak apa-apalah mandi keringat dikit, pikirnya menghibur diri.
Udara panas kota Pontianak membuat debu-debu beterbangan, bercampur dengan asap kenalpon membuat suasana semakin pengap, tiba-tiba saja sepanjang jalan Ahmad Yani macet total, Egi harus menaikan motor ke trotoar jalan untuk bisa mendahului mobil-mobil yang berjejer tak beraturan.
Kecelakaan, itulah penyebab kemacetan itu terjadi, kini Egi harus menghentikan Vesva merahnya, karena jalan benar-benar tidak bisa di lalui, bahkan trotoarpun dipenuhi oleh motor. Tidak disangka-sangka, Egi melihat Cici, ternayata tuh anak juga sedang berlomba menyaksikan ramai-ramai kecelakaan itu terjadi.
“Ci, ternayata kamu masih di sini” Kata Egi menepuk pundak Cici. Yang ditepuk berpaling kaget, wajahnya pucat.
“Egi!! Ya ampun Gi, Maxsel dan Kiko…” Suara Cici terputus.
“Kenapa dengan mereka? Tanya Egi kurang mengerti.
“Aku melihatnya Gi, Ya Tuhan” Kata Cici menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. “Maxsel dan Kiko kebut-kebutan, Maxsel menabrang mobil Truk dari arah berlawanan, Kiko sempat berhenti di tengah jalan, tapi mobil kijang menabraknya” Kata Cici meneteskan air mata.
“Ya Tuhan” Kata Egi, seakan tak ada kata lagi yang dapat terucap dari Egi, ia hanya memikirkan seandainya saja ia ikut nebeng dengan Maxsel atau Kiko, entah apa yang akan terjadi dengan dirinya, dalam hati Egi bersyukur masih ada Vesva merahnya. “Tapi mereka tidak apa-apakan? Tambah Egi.
“Mereka luka parah, dan dibawa ke rumah sakit, sedangkan motor keduanya rusak berat, mobil truk dan kijang itulah yang membuat macet” Kata Cici.
Akhirnya Egi memutuskan untuk menyusul ke rumah sakit, awalnya Cici mau ikut, tapi Egi menyarankan Cici untuk pulang dulu ke rumah.
Maxsel dan Kiko, keduanya terbaring lemah dalam satu ruangan, Kiko mengalami luka-luka di sekujur tubuhnya, tapi tidak mengalami patah tulang, Maxsel bibirnya pecah, gigi depannya tanggal tiga, Egi sedikit prihatin memandang kedua sobatnya saat terbaring tak berdaya.
“Ini belum seberapakan Bro? Kata Egi menatap Kiko dan Maxsel bergantian.
“Kiko tersenyum dalam lemahnya, Maxsel juga mencoba untuk tersenyum, tapi mulutnya benar-benar tak bisa digerakan.
“Kayanya kalau aku sembuh nanti harus beli Vesva merah juga” Kata Kiko meringis. “Tapi untuk sementara, aku boleh nebeng di Vesvamukan Gi” Tambahnya.
“Tentu bisa, bahkan Vesvaku masih kuat untuk tanjal tiga, jadi jangan khawatir” Jawab Egi tersenyum. Maxsel hanya mencoba untuk mengangguk, sepertinya ia setuju.
“Cepat sembuh ya Max, kita bertiga nanti bisa balapan lagi, tapi syaratnya harus Vesva merah semkuanya, sepertinya bakalan seru tuh, tiga Vesva merah kebut-kebutan di jalan” Kata Egi nyengir.
Akhirnya Egi pamit pulang setelah kedua orang tua Maxsel dan Kiko datang.
“Ayo sobat, kita pulang, maaf aku tadi benar-benar meragukanmu, dan kini aku benar-benar percaya, bahwa kau memang sobat setia” Kata Egi kembali menepuk bagian depan Vesva merahnya.

Pasir Putih


Pantai, itulah tempat yang selalu aku rindukan. Entah mengapa biru laut menjadi pesona tersendiri untukku, mungkin benar kata orang, ada kalanya laut bisa menjadi sesuatu yang sangat mengerikan, contohnya sudah banyak, cerita kapal tenggelam, gelombang tsunami di Aceh, dan masih banyak lagi kengerian yang dijanjikan laut, tapi aku tidak perduli, laut tetaplah laut, dan pantai adalah tempat terindah selain puncak-puncak gunung.

Pukul sepuluh pagi, aku sengaja turun dari mobil di simpang Pasir Panjang, bus yang ku tumpangi dipenuhi oleh sesak penumpang membuat badanku terasa kaku karena harus berdiri sepanjang perjalanan, akhinya aku turun dengan kondisi sempoyongan, tapi bila sudah membayangkan pantai, kesegaranku akan segera kembali.

Aku sudah terbiasa bebas melangkah ke manapun aku mau, asal cukup ongkos, perjalananlah yang kupilih untuk melepaskan segala kegundahan, dan aku benar-benar menikmatinya, dari kecil aku sudah dididik menjadi pribadi yang mandiri, yang harus siap melangkah menghadapi semua persoalan seorang iri, tak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan selain kematian, itulah prinsipku, aku berhutang banyak kepada ayahku, yang telah mengajariku bagaimana seharusnya menggunakan kedua kaki sehingga benar-benar bemanfaat untuk jalan hidup.

Jalan kaki dari simpang Pasir Panjang menuju pantai lumayan cukup jauh, dan baru kali inilah aku mencobanya, biasanya aku nebeng sama teman pake motor, atau ikut carter langsung dengan Bus, tapi hari ini aku ingin menggunakan kakiku sebagai satu-satunya alat untuk berjalan.

Dua buah sepeda motor lewat di sampingku, cewek-cewek manis berboncengan tesenyum ngejek.

“Keringatnya dilap bang” Kata salah satu dari mereka memperlambat motornya.

“Mau dilapin enggak?” kata cewek yang satunya.

Sial benar, pikirku, cewek-cewek belasan tahun, paling-paling mereka masih duduk di bangku SMA. “Boleh kalau kalian mau ngelapin keringat, syaratnya salah satu dari kalian harus menjadi pacarku” Jawabku nyengir.

“Huh, siapa yang mau, nanti disuruh nemenin jalan kaki”

“Bukan hanya nemenin jalan kaki, tapi aku minta gendong sekalian” Jawabku.

“Kebalik kali bang, seharusnya kita-kita yang minta gendong” Kata cewek yang rambut panjang.

Mereka kembali mempercepat laju motornya, setelah sengaja ngopling dan narik gas sehingga mengeluarkan asap hitam dari kenalpot motor mereka, cewek-cewek sialan, pikirku, sepertinya mereka sengaja mempermainkanku.

Kurang lebih 30 menit perjalanan, akhirnya aku bisa melihat pantai, angin laut dan gemuruh ombak membuat semangat langkahku semakin menggebu, tawa anak-anak pantai memaksaku untuk tersenyum sendiri. Puluhan bahkan mungkin ratusan motor diparkir dengan rapi, mobil-mobil pribadi juga cukup banyak, musim liburan anak-anak, Pasir Panjang menjadi tempat faforit untuk bertamasya.

Aku memilih sebuah pendopo yang tidak ditempati orang, menatap hamparan pasir putih yang memanjang luas, batu-batu berjejer masih seperti dulu, puluhan anak muda seusiaku asik bemain dengan ombak, tentu dengan pasangan-pasangan mereka, betapa membahagiakan memang kalau pergi ke pantai berdua dengan seorang kekasih, aku juga terkadang memimpikan suasana seperti itu, tapi entahlah, aku lebih suka berjalan seorang diri.

Lamunanku buyar oleh suara bus yang lewat di belakangku, riuh para penumpangnya membuat suasana pantai semakin meriah, mobil carteran, penumpangnya luber sampe ke atas, wajah-wajah kusut namun bahagia terpancar di setiap penumpangnya. Satu persatu mereka turun dan mulai berpencar mencari tempat masing-masing, ada yang memilih berdua, bertiga bahkan bergerombol menuju bebatuan. Aku kembali hanyut dengan lamunanku, mencoba menikmati setiap belayan angin pantai yang benar-benar membuat jiwaku terasa damai.

Aku berjalan menyusuri bibir pantai, membiarkan riak air laut menampar kakiku, jin lusuh telah ku gulung hingga betis, tapi tetap saja air berhasil mencapainya, aku memungut sebuah batu dan melemparkannya kembali ke arah laut, aku hanya bisa tersenyum sendiri.

Aku terus berjalan mengikuti arah langkahku sendiri, tanpa sengaja aku melihat seorang wanita berjilbab panjang berjalan terseok-seok sekitar 50 meter di depanku, sepertinya ada masalah dengan kaki kirinya, ia berhenti sejenak, menatap ke arah laut lepas, kedua tangannya direntangkan ke atas, kemudian di turunkan kembali, wanita yang anggun, entah mengapa aku jadi memperhatikan dia, aku berjalan perlahan ke arahnya, mencoba merangkai kata yang tepat untuk bisa menyapanya, namun tawa ketiga bocah pantai yang berlari di depanku dan bergumul bersama ombak membuat sejenak aku melupakan gadis berjilbab itu.

Katiga bocah itu begitu asik bermain, aku jadi ingin seperti mereka, membayangkan masa kecilku yang tidak terlalu bahagia, ah.. aku jadi melamun ke masa lalu. Dua dari ketiga bocah itu berlari ketika ada mamang Es krim lewat, keduanya berlomba sambil tertawa ceria, sedangkan bocah yang satunya tertegun memandang kedua temannya, raut kesedihan terpancar diwajah lugu itu, kemudian ia memilih berlari ke arah ombak, hatiku sedikit tersentuh.

Baru saja aku berniat berjalan ke arah anak itu, gadis berjilbab di depanku telah mendahuluiku, gadis itu tersenyum ke arah bocah lugu itu, entah apa yang mereka bicarakan, namun sejenak kemudian, bocah itu berlari menyusul kedua temannya, wajahnya berseri penuh dengan keceriaan. Ah.. bidadari baik hati, pikirku.

“orang baik memang selalu ada di mana-mana” Itulah yang dikatakan Roy, Tokoh fiksi karya Gola Gong, tokoh novelis yang sangat aku kagumi.

Gadis itu berjalan kembali, masih terseok-seok seperti tadi, aku kembali mengikutinya, perlahan sambil pura-pura menatap ke arah laut, entahlah, aku jadi segan untuk menegurnya, aku hanya bisa memperhatikannya dari jauh, mengagumi setiap keanggunannya, kekurangan yang ku lihat justru sebagai kelebihan dari seorang gadis berjilbab.

Tidak terasa hari begitu cepat berlalu, matahari malu-malu berjalan ke arah barat, angin laut semakin kencang menerpa rambutku yang kian kusut, aku harus segera melangkahkan kaki meninggalkan pantai, mencari tempat yang baik untuk ku singgahi, mushola atau mesjid-misjid sebagai tempat menginap satu malam ini. Hamparan pasir putih, setidaknyta telah memberiku satu arti tentang kehidupan, ketiga bocah dan sosok gadis berjilbab yang berjalan terseok-seok melintasi anganku.


Sabtu, 05 Juni 2010

kedua sayapku telah patah

Aku ingin terbang bebas tanpa batas, menyusuri langit, ku habiskan waktu ku untuk menikmati dunia dari angkasa, terus terbang tinggi, tak ada rasa lelah ku, karena keindahan bisa menghapus semuanya. Aku bahagia memiliki sayap, aku lebih beruntung dari manusia manapun, aku bisa terbang dan bermain dengan awan putih, terkadang aku meraih indahnya pelangi, memainkan serbuk bintang yang bertaburan. Aku ingin sekali membawa temanku terbang, ingin menunjukan betapa bahagianya di saat-saat terbang di angkasa. Di kala hati gundah, dikala keresahan yang menuntutku untuk marah, maka hanya terbanglah sebagai satu-satunya pengobat kemarahan ku, aku ingin bermain dengan burung-burung, dengan kelelawar-kelelawar malam, tapi mereka terlalu takut melihatku, mungkin aku terlalu besar untuk ukuran mereka, aku jadi selalu terbang sendiri, dan aku sadari kesendirian ini terkadang menyakitkan, tapi jika aku katakan kepada temanku tentang kemampuanku untuk terbang, mereka akan mengatakan aku gila, dan anehnya di depan mereka sayapku tak bisa mengepak, ia tetap sembunyi di balik bajuku dan teman-temanku pasti akan menertawakanku.
Aku berlari dan terus berlari, ketika jauh dari teman-temanku, aku mendapati diriku terbang di angkasa lagi, sayapku bergerak meski tanpa aku gerakan, kecepatan terbangku melebihi burung-burung, kedua sayapku lebih indah dari kupu-kupu manapun. Di sini, di angkasa tempat aku berdiam diri, aku bisa melihat semuanya, aku bisa melihat orang-orang bahagia, aku bisa melihat orang-orang menderita, tersiksa oleh kekejaman kehidupan, aku juga bisa melihat jiwa-jiwa manusia resah, mereka menengadah ke arah langit dan tepatnya mereka menatapku, tapi anehnya mereka seakan tidak melihat keberadaanku, tatapannya kosong, hanya berharap temukan jawaban dari kekuasaan di langit ini, mereka orang—orang bodoh pikir ku, mereka mengira langit dapat memberikan jawaban, mereka mengira langit dapat memberikan ketentraman, padahal langit tidak ubahnya seperti mereka sendiri, semuanya dalam keresahan, keresahan sambil menunggu datangnya hari yang dapat menghancurkan itu, hari di mana punahnya alam raya ini, aku lebih mengetahui tentang langit, aku lebih menyadari semuanya karena setiap hari ku habiskan waktuku bermain dengan awan-awan putih dan warna pelangi, jadi aku bisa merasakan apa yang dirasakan oleh langit, oleh matahari, oleh bulan dan bintang, mereka semua resah, sampaikapan tugas mereka akan berakhir, mereka telah bosan menerangi dunia, mereka bosan menerangi malam.
Aku terus terbang dengan kedua sayapku, menghampiri orang-orang yang terbaring dalam derita, orang-orang yang tersisihkan dari kemegahan dunia, orang-orang yang dipenuhi dengan luka batin dan luka badan, di manakah orang-orang kaya itu? Di manakah pejabat-pejabat tinggi itu? Mereka tertawa di rumah mewah, mereka menikmati hidangan-hidangan dunia, mereka berjalan dengan mobil-mobil indah, mereka berkumpul menikmati permainan-permainan bodoh yang menghabiskan waktu. Sementara di sini, di temani pelita yang semakin redup, ditemani lalat dan nyamuk yang terus menghisap darah, mereka terduduk dalam lamunan, terbaring dalam penderitaan, setiap hembusan nafasnya terasa berat, setelah seharian berada di atas tumpukan sampah yang menyengat, hingga aroma tubuhpun tidak bisa dibersihkan dari bau sampah-sampah busuk, itulah mereka, aku menghampiri mereka dengan air mata menetes, sayapku kelu, mereka tidak menyadari kehadiranku, mereka terlalu hanyut dalam renungan-renungan malamnya, dengan nafas-nafas sesaknya, aku terus berjalan melewati mereka, aku mendapati seorang bocah yang lagi terduduk, tangannya dilipat di atas kedua lututnya, nampaknya ia terisak, aku menghampirinya lebih dekat, bocah kecil menghentikan isakannya, ia mendongakan kepala menatapku. “Apa yang membawamu datang ke sini“ suaranya membuat aku terkejut, semua orang tidak bisa melihatku, tapi mengapa bocah ini tau kehadiranku, aku tersentak tak mengerti, aku hendak menjawab pertanyaannya, tapi bocah itu seakan tidak memberi kesempatan untuk berbicara. “Kau bebas terbang dengan kedua sayapmu, tanpa derita, bahkan kau hanya bisa melihat indahnya dunia di atas sana, kau tidak memperdulikan kami, atau kedatanganmu hanya untuk menertawakan kami di sini, lihatlah luka kami yang dikerubungi lalat, lihatlah pakaian kami yang kumal dan compang-camping, lihatlah badan kami dekil, lihatlah makanan kami roti-roti basi yang telah dibuang pemiliknya, sementara kau, kau hanya bisa terbang di atas penderitaan kami, kau tidak memperdulikan kami, kau hanya menyibukan diri untuk memamerkan kedua sayapmu, kau hanya ingin semua orang tau kalau kau bisa terbang, dan semua orang memujimu, bahkan kau ingin mereka bersujud padamu. Kenapa kau datang? Apa hanya sekedar ingin melihat luka, hanya ingin melihat air mata saudaramu ini terus menetes, pergilah.... pergilah ke alammu di langit sana, aku tidak butuh kehadiranmu, kau makhluk bersayap yang hanya mementingkan dirimu sendiri“.
Suara anak kecil itu menggema, orang-orang menatapnya tak mengerti, aku sendiri masih mematung, aku seakan tersihir menjadi seonggok batu yang tak berarti, aku tak berdaya, sungguh tak berdaya, bahkan sayapku semakin kelu, tiada kata yang dapat aku ucapkan, kini aku sadar siapa diriku, mungkin benar perkataan bocah itu, aku hanya makhluk bersayap yang terbang di atas penderitaan mereka, tiba-tiba sayap ku retak, tanpa bisa ku cegah ia terjatuh dari punggungku, ya.. kedua sayapku patah, jatuh ikut menjadi sampah yang tertumpuk di bawah kakiku, aku sadar, sangat sadar, aku terlalu lama terbang, hingga tak mempedulikan lagi derita orang-orang, derita bocah yang berada di depanku.
“Mengapa kau biarkan sayapmu patah? Bukankah sayap itu yang selalu kau banggakan“ teriak bocah itu masih dengan kemarahan.
“Baiklah sobat kecil, aku tidak memerlukan sayap itu lagi, aku tak ingin terus terbang dan melupakan kalian di sini, jadikan aku sebagai teman kalian, aku ingin menyelami penderitaan seperti kehidupan kalian semua, sudah terlalu letih aku terbang, namun yang aku dapatkan hanya kehampaan yang sia-sia, hidupku tidak berarti, meskipun berjuta keindahan yang aku dapati, namun kesunyian itu jauh lebih tersiksa dari penderiaan manapun, aku ingin di sini, di sini bersama kalian, karena aku yakin hanya tempat inilah yang dapat memberi kesadaran jiwa“ jawab ku membuat sang bocah tertegun, ia tersenyum dan berkata. “Kalau begitu kau makhluk terbodoh yang pernah aku temui“ aku tidak peduli dengan sebutan bodoh yang pernah diucapkan bocah itu, kini kedua sayapku telah patah, dan aku menyadari patahnya sayapku berarti berakhirlah seluruh pertualangan terbangku, tapi aku bahagia hidup di sini, hidup dalam derita, karena hanya dengan deritalah maka aku akan merasakan rasa bahagia “Orang tidak akan pernah tau bagaimana rasanya manis kalau selama hidupnya tak pernah merasakan rasanya pahit“ dan aku percaya akan hal itu.